Dalam kehidupan sehari hari, kita sering mendengar kalimat seperti “Sudah, jangan sedih, tetap positif saja,” atau “Kamu harus kuat, orang lain lebih susah dari kamu.” Sekilas terdengar baik dan penuh dukungan, namun jika terlalu sering dan tidak sesuai konteks, sikap ini dapat berubah menjadi toxic positivity. Dorongan untuk selalu terlihat bahagia dan menekan emosi negatif secara tidak sehat. Salah satu dampak yang paling sering terjadi, tapi jarang disadari, adalah ketika seseorang merasa diabaikan, namun lingkungannya malah menuntut untuk terus berpikir positif tanpa memberi ruang untuk bercerita atau didengarkan.
Apa Itu Toxic Positivity?
Toxic positivity adalah kondisi ketika seseorang atau lingkungan memaksakan sikap positif secara berlebihan dan menolak atau meremehkan emosi negatif yang sebenarnya valid dan perlu diekspresikan. Misalkan hal yang sederhana :
Ketika curhat dianggap mengeluh,
Ketika kesedihan dianggap kelemahan,
Ketika seseorang butuh didengar, tapi malah diberi nasihat seperti “Sudah, syukuri saja!” Akibatnya, perasaan seperti sedih, marah, kecewa, atau merasa diabaikan menjadi tertekan dan tidak pernah terselesaikan.
Mengapa Banyak Orang Tidak Sadar Bahwa Mereka Sedang Diabaikan?
Dikarenakan hal yang kalian belum sadari :
Terbiasa memendam perasaan untuk menjaga kenyamanan orang lain,
Takut dianggap lemah atau drama,
Sering mendapatkan respon toxic positivity sejak kecil, sehingga mengira itu hal biasa,
Tidak diajarkan cara mengekspresikan emosi dengan sehat. Kalian pasti pernah tahu orang yang sering mengalaminya akan mulai merasa :
Tidak layak bercerita,
Tidak punya tempat aman,
Harus selalu terlihat kuat,
Kehilangan koneksi emosional.
Solusi Sehat untuk Mengatasi Toxic Positivity dan Perasaan Diabaikan
Akui dan validasi perasaan sendiri
berani berkata pada diri sendiri contohnya :
“Aku sedih dan itu wajar",
“Aku butuh didengar",
Mengenal emosi adalah langkah awal penyembuhan.
Cari ruang aman untuk bercerita
temukan seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi teman dekat, keluarga, komunitas, atau profesional konselor atau psikolog. Kalimat yang bisa digunakan harusnya :
“Aku tidak butuh solusi dulu, aku hanya ingin didengar".
Belajar menetapkan batas (Boundaries)
jika ada orang yang sering memberi respon toxic positivity, Anda boleh berkata :
“Aku menghargai niat baikmu, tapi saat ini aku ingin mengekspresikan perasaanku tanpa dipaksa positif".
Terapkan Positive Realisme
bukan menolak hal positif, tapi menyeimbangkan realita dan harapan contohnya:
Bukan “Aku pasti kuat,” tapi “Aku sedang berusaha menjadi kuat, meski kadang rapuh.”
Terima bahwa tidak harus selalu baik baik saja
Kesedihan bukan kesalahan.
Rapuh bukan kelemahan.
Semua manusia punya masa sulit.
Tidak apa apa berhenti sejenak untuk menyembuhkan diri.
Menjadi pendengar yang baik bagi orang lain
jika ingin memutus rantai toxic positivity, mulai dari diri sendiri seperti :
Mendengarkan lebih banyak daripada menasihati,
Menghindari kalimat mengabaikan seperti “Sudah, jangan dipikirin",
Mengatakan “Aku mengerti kamu terluka, aku di sini untukmu.”
Kesimpulan
Toxic positivity membuat banyak orang merasa diabaikan tanpa disadari, karena emosi mereka ditolak dan dianggap tidak penting. Untuk memperbaiki kesehatan mental, kita perlu merangkul emosi apa adanya, bukan menguburnya. Dikarenakan kesembuhan dimulai dari keberanian untuk merasakan. Dan perlu diingat tidak harus selalu kuat. Tidak harus selalu tersenyum. Tidak apa apa tidak baik baik saja.
Komentar
Posting Komentar