Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) memperingatkan bahwa generasi muda di Tanah Air kini menghadapi lonjakan risiko masalah kesehatan jiwa. Berdasarkan riset internal PDSKJI, sebagian besar kasus gangguan mental dilaporkan terjadi di kelompok usia muda, seiring dengan tekanan kehidupan modern yang semakin kompleks.
Hasil Riset PDSKJI
Dari survei swaperiksa yang dilakukan oleh PDSKJI antara Maret 2020 hingga Maret 2022 terhadap 14.988 responden, ditemukan angka yang mengkhawatirkan. Sebagian besar responden berada di rentang usia muda (20–30 tahun). Dalam survei tersebut, 84% responden melaporkan mengalami trauma psikologis, sementara 72,9% mengalami depresi dan 71,7% mengalami kecemasan. Lebih dari sepertiga (sekitar 36%) dari mereka yang melaporkan masalah jiwa menyatakan bahwa mereka pernah memikirkan untuk mengakhiri hidup. Angka prevalensi masalah mental ini terus meningkat menurut kajian independen, pada 2020 tercatat 70,7%, lalu naik menjadi 80,4% pada 2021, dan lagi menjadi 82,5% pada 2022. Kolibi
Mengapa Generasi Muda Lebih Rentan?
PDSKJI, bersama dengan pakar kesehatan jiwa lainnya, mengidentifikasi beberapa faktor utama di balik kerentanan mental generasi muda :
Perkembangan Otak dan Emosional yang Belum Matang Menurut dokter dari PDSKJI, otak remaja dan orang muda belum berkembang secara seimbang: area tertentu mungkin sudah “matang” dalam kognisi, tetapi kontrol emosi dan perilaku belum maksimal.
Tekanan Hidup dan Ekspektasi Sosial
Generasi muda menghadapi tekanan besar dari berbagai sisi akademik, karier, sosial media, serta kompetisi ekonomi. Aspek aspek ini memberi beban psikologis yang berat.
Era Digital dan “Tsunami Informasi”
Gen Z tumbuh di masa internet dan media sosial yang sangat masif. Mereka mudah membandingkan diri dengan standar yang tidak realistis di media sosial, dan terpapar konten negatif seperti cyberbullying, tekanan penampilan, dan ekspektasi “hidup sempurna”.
Efek Pandemi Dahulu
Pandemi meninggalkan dampak psikologis yang dalam. Banyak respons survei PDSKJI menunjukkan bahwa kecemasan, depresi, dan trauma meningkat drastis selama masa pandemi.
Kurangnya Literasi Kesehatan Mental
Masih banyak individu muda yang belum paham betul akan pentingnya kesehatan mental, dan stigma jiwa membuat mereka enggan mencari bantuan.
Ketidakpastian Masa Depan
Faktor ekonomi, pekerjaan, identitas diri (termasuk gender dan orientasi seksual), serta pergeseran sosial menambah kecemasan akan masa depan.
Dampak Sosial dan Kesejahteraan Nasional
PDSKJI menekankan bahwa masalah kesehatan mental di kalangan generasi muda bukan hanya isu individu, tetapi juga masalah nasional. Jika tidak ditangani, beban psikologis generasi produktif bisa berdampak pada produktivitas kerja, kreativitas, dan stabilitas sosial jangka panjang. Dalam konferensi pers, PDSKJI menyerukan pendekatan intervensi multi sektor untuk kolaborasi dengan pemerintah, lembaga pendidikan, komunitas digital, dan layanan kesehatan mental untuk menyediakan dukungan preventif dan kuratif. Solusi yang diusulkan antara lain :
Menyediakan program edukasi kesehatan jiwa di sekolah dan universitas,
Mengembangkan layanan konseling dan telepsikiatri agar lebih mudah diakses anak muda,
Kampanye literasi mental untuk mengurangi stigma dan mendorong orang muda mencari bantuan,
Pelatihan keterampilan koping (coping skills) bagi remaja dan dewasa muda agar dapat mengelola kecemasan, stres, dan tekanan sosial.
Respons Pakar dan Komunitas
Beberapa pakar juga mendukung hasil riset PDSKJI. Misalnya, penelitian oleh Universitas Gadjah Mada dalam Youth Mental Health Landscape Analysis menemukan bahwa faktor-faktor seperti pengalaman masa kecil, dinamika keluarga, stigma, bullying, dan perubahan iklim adalah pemicu utama masalah mental di kalangan remaja.
Sementara itu, komunitas pendukung kesehatan mental, seperti Into The Light Indonesia, terus mendorong dialog terbuka dan penyediaan ruang aman bagi generasi muda untuk berbicara tentang penderitaan batin dan mencegah ide bunuh diri.
Kesimpulan
Riset PDSKJI menunjukkan bahwa generasi muda Indonesia saat ini berada dalam kondisi kerentanan kesehatan jiwa yang serius. Kombinasi tekanan sosial, perkembangan otak yang belum seimbang, paparan digital, dan dampak pandemi membuat mereka lebih rentan mengalami kecemasan, depresi, trauma, bahkan ide bunuh diri.
Untuk mengatasi krisis ini, dibutuhkan tindakan cepat dan komprehensif dari berbagai pihak pemerintah, tenaga kesehatan, pendidikan, hingga komunitas dan media. Jika tidak, beban mental generasi penerus bangsa bisa menekan bukan hanya kesejahteraan individu, tetapi juga masa depan sosial-ekonomi Indonesia.
Komentar
Posting Komentar