Di lembah sungai Pakerisan yang sunyi, tersembunyi di balik rimbun hutan dan tebing batu yang menjulang, berdirilah sebuah kompleks suci peninggalan Bali Kuno yang dikenal sebagai Gunung Kawi. Tempat ini bukan hanya sekadar situs purbakala, tetapi juga saksi bisu kisah cinta, kesetiaan, dan kekuasaan pada masa kerajaan Bali abad ke 11.
Legenda Raja Udayana dan Putra Mahkota
konon Gunung Kawi dibangun pada masa pemerintahan Raja Udayana Warmadewa, salah satu penguasa besar Bali kuno yang menikah dengan Putri Gunapriya Dharmapatni dari Jawa. Dari pernikahan itu lahirlah putra mahkota yang terkenal bijaksana, Raja Marakata dan adiknya, Airlangga, yang kelak menjadi raja besar di Jawa. Dikisahkan bahwa setelah wafatnya Raja Udayana, rakyat Bali berkeinginan untuk membangun tempat pemujaan yang layak sebagai penghormatan. Maka dipahatlah tebing batu raksasa di lembah Sungai Pakerisan hingga terbentuklah candi-candi yang menghadap sungai, yang dipercaya sebagai simbol makam kerajaan.
Tebing yang Dipahat Manusia Pilihan
menurut cerita turun temurun pemahat Gunung Kawi bukanlah orang biasa. Legenda menyebut bahwa proses pemahatan dilakukan oleh Kebo Iwa, seorang kesatria raksasa sakti yang mampu mengangkat batu sebesar bukit hanya dengan kedua tangannya. Dalam satu malam, ia menebas tebing dengan pahat besi, membentuk candi-candi megah yang seolah tak mungkin dikerjakan manusia biasa. Namun sejarah mencatat bahwa situs ini dibangun dengan tangan para pengrajin pilihan kerajaan, melalui kerja keras bertahun tahun, mengikuti sistem ritual dan arsitektur suci.
Jejak Kesetiaan Sang Permaisuri
di sisi lain lembah terdapat lima candi yang diyakini didedikasikan untuk Raja Udayana dan keluarganya. Sedangkan di sisi timur sungai terdapat empat candi lain yang dipercaya dipersembahkan untuk permaisuri dan keluarganya. Di sanalah hidup sebuah legenda tentang kesetiaan tanpa tanding. Ketika sang raja wafat, permaisuri disebut memilih untuk tinggal di tepi sungai tersebut hingga akhir hidupnya, menjalani hari-hari dalam kontemplasi dan pemujaan, menjaga kesucian warisan sang raja. Air sungai yang terus mengalir menjadi simbol cinta dan kehidupan yang abadi.
Tempat Para Resi dan Yogi
Gunung Kawi juga dikenal sebagai tempat pertapaan para yogi dan resi pada masa Bali kuno. Di sekitar candi terdapat gua-gua kecil yang digunakan untuk meditasi. Di sanalah para suci mencari kesempurnaan spiritual, sementara suara gemericik air menjadi nyanyian alam yang menuntun keheningan jiwa.
Warisan Suci yang Abadi
Hingga kini, Gunung Kawi tetap menjadi tempat penuh aura spiritual. Pengunjung yang menuruni ratusan anak tangga menuju lembah sering merasakan suasana khusyuk, seolah menembus waktu dan mendengar bisikan masa lalu. Di antara wangi dupa dan gemuruh sungai, seakan terdengar pesan dari para leluhur :
“Hidup akan sirna, namun nama baik, cinta, dan kesucian akan tetap abadi.” Gunung Kawi bukan sekadar peninggalan arkeologi, ia adalah jiwa Bali kuno, kisah manusia, kekuasaan, dan cinta yang terukir di batu, melewati ribuan tahun tanpa dilupakan.
Kesimpulan
Gunung Kawi adalah simbol perjalanan spiritual, penghormatan terhadap leluhur, dan bukti kecanggihan budaya Bali kuno. Kisahnya mengingatkan kita akan nilai kesetiaan, kekuatan jiwa, dan keagungan peradaban masa lalu.
Komentar
Posting Komentar