Postingan Utama

Yang Pingin Sate Legendaris Malang Dan Kopi Jadulnya, Kami Rekomendasikan Kini Sudah Ada Di Jakarta Timur

  Di kawasan Jakarta Timur sekarang banyak warung sate yang bisa dibilang “legendaris”,  warung warung yang telah bertahan puluhan tahun dan tetap digemari banyak orang. Salah satu yang terkenal adalah Warung Sate Haji Giyo berdiri sejak 1985, dikenal dengan sate kambing besar, daging empuk, dan bumbu kecap manis pedas yang khas. Lalu ada Sate Kambing Haji Nawi (sejak 1982), dengan potongan sate kambing tebal dan juicy, serta tersedia juga sate ayam bercita rasa tradisional. Jangan lupa Sate Blora Cirebon  menawarkan sate kambing maupun ayam dengan bumbu gurih khas, dan pilihan menu tambahan seperti tongseng, gulai, sampai sop kambing. Sate sate dari warung warung ini menarik karena dagingnya empuk, potongannya tebal, dan cita rasa bumbunya kuat. Cocok bagi kamu yang rindu “sate jadul” ala warung tradisional. Kalau kamu sekarang di Jakarta Timur, tempat tempat ini layak banget buat jadi tujuan makan malam atau nongkrong bareng teman atau keluarga. Kopi Jadul dari Malang K...

Ambil Hikmah Dan Pelajaran Dari Cerita "Nenek Yang Bermalam Di Stasiun Rangkasbitung Dikarenakan Ketinggalan Kereta Terakhir"

 


Malam itu stasiun Rangkasbitung tampak lengang. Lampu lampu peron yang kekuningan memantulkan cahaya samar di lantai, yang mulai lembap oleh embun. Di salah satu bangku besi, duduk seorang nenek berkerudung lusuh, menggenggam erat sebuah tas belanja kain. Namanya Nenek Sumarni, usia hampir tujuh puluh. Ia baru saja ketinggalan kereta terakhir menuju Serang.

Nenek Sumarni menatap jam dinding yang berdetak pelan. Sudah lewat pukul sepuluh malam. Petugas stasiun mulai merapikan area loket, dan para penumpang satu per satu meninggalkan peron. Tak ada lagi kereta malam. Yang tersisa hanya sunyi, suara jangkrik dari kejauhan, dan hembusan angin lembut dari arah rel. Ia membuka dompet kecilnya, hanya ada enam ribu rupiah di dalamnya.

Uang itu sisa dari hasil jualan pisang goreng tadi pagi di Pasar Cipanas. “Cukup buat beli air sama roti,” gumamnya pelan. Ia tak berani keluar stasiun; malam terlalu sepi, dan jalanan ke luar gelap tanpa penerangan. Petugas keamanan yang berkeliling sempat menghampirinya. "Bu, keretanya sudah habis. Mau saya bantu carikan ojek?” tanya petugas muda itu. Nenek Sumarni tersenyum lemah. “Terima kasih, Nak. Uang Nenek tinggal enam ribu. Tak cukup buat ongkos.” Petugas itu terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Kalau begitu, Ibu istirahat di sini saja dulu. Aman, kok”.

Malam terus berjalan. Nenek Sumarni bersandar di bangku dingin, memeluk tas kainnya. Di dalamnya ada bungkusan pisang goreng yang belum habis, dan sehelai kain sarung. Ia menutup tubuhnya dengan sarung itu, mencoba tidur meski tubuh renta itu menggigil pelan.

Dari kejauhan, suara kereta barang melintas, bunyinya panjang, berat, dan menggema di antara dinding stasiun tua. Nenek membuka matanya sejenak, menatap ke arah rel yang membentang gelap. “Besok, semoga masih ada rezeki buat pulang,” bisiknya lirih.

Menjelang subuh seorang petugas warung kopi di dekat pintu masuk datang membuka lapaknya. Melihat nenek itu masih di bangku yang sama, ia menghampiri dengan secangkir teh panas. “Bu, minum dulu. Masih hangat".

Nenek Sumarni tersenyum haru, matanya berkaca kaca. “Terima kasih, Nak. Tuhan yang balas kebaikanmu".

Ketika kereta pertama pagi itu tiba, ia berdiri perlahan. Uang enam ribu itu masih tersisa di tangannya, tapi hatinya terasa penuh. Di tengah hiruk-pikuk penumpang yang mulai berdatangan, sosok kecil itu akhirnya naik ke kereta ekonomi menuju rumahnya di Serang.

Bagi sebagian orang, enam ribu mungkin tak berarti banyak.

Namun bagi Nenek Sumarni, uang itu adalah pengingat, bahwa meski hidup kadang keras, selalu ada kebaikan kecil yang menghangatkan malam paling sunyi di stasiun Rangkasbitung.


Komentar