Di sebuah sudut Bandung, kota yang dikenal dengan kreativitas kuliner dan cita rasa unik, ada seorang dokter muda bernama Dr. Arif Ramadhan, sehari hari ia bekerja di sebuah puskesmas. Menangani pasien dari berbagai kalangan, namun ada satu fenomena yang membuatnya penasaran sekaligus khawatir, tren konsumsi seblak.
Seblak dengan kuah pedas gurih dan aroma kencurnya yang khas, sudah menjadi ikon kuliner jalanan Bandung. Hampir setiap sore, Dr. Arif selalu melewati deretan pedagang seblak di pinggir jalan sepulang kerja. Dari anak sekolah, mahasiswa, hingga pekerja kantoran, semua terlihat bersemangat menikmati mangkuk demi mangkuk seblak panas dengan topping ceker, kerupuk, dan sosis.
Awalnya Dr. Arif pun tidak terlalu mempermasalahkan. Ia sendiri sesekali menikmati seblak favoritnya. Namun, setelah beberapa bulan mengamati pasien yang datang, ia menemukan pola yang mengganggu: banyak anak muda yang mengeluh sakit perut, maag, anemia hingga mudah lelah.
Rasa penasarannya mendorong ia untuk melakukan penelitian kecil. Bersama tim mahasiswa gizi dari sebuah universitas di Bandung, ia menganalisis kandungan nutrisi dalam seporsi seblak populer.
Hasilnya membuat Dia tercengang :
Tinggi karbohidrat dari kerupuk yang digoreng setengah matang,
Kandungan natrium (garam + penyedap) jauh di atas kebutuhan harian,
Lemak jenuh dari minyak goreng bekas pakai,
Protein sangat rendah kecuali jika ditambah topping mahal seperti telur atau daging ayam,
Hampir tidak ada vitamin dan serat kecuali sedikit dari topping sayuran (yang seringkali hanya formalitas).
“Ini yang saya sebut sebagai darurat gizi tersembunyi,” ujar Dr. Arif dalam sebuah diskusi kecil di kampus. “Makanan ini memang enak, bikin nagih, dan murah, tapi jika dijadikan makanan utama sehari-hari, tubuh akan kekurangan zat gizi penting. Anak-anak muda merasa kenyang, tapi sebenarnya mereka sedang masuk ke jurang malnutrisi modern.”
Bahkan beberapa pedagang seblak mulai berinovasi, ada yang menambahkan sayuran lebih banyak. Mengganti minyak dengan yang lebih sehat, hingga mengurangi garam dan penyedap. Perlahan lahirlah tren “seblak sehat” di Bandung, seblak dengan brokoli, jagung, tahu, bahkan tempe sebagai topping.
Bagi Dr. Arif, kisah ini bukan sekadar tentang seblak. Ini adalah cermin bagaimana sebuah makanan populer bisa membawa dua sisi kenikmatan sekaligus risiko kesehatan. Dan tugasnya sebagai dokter bukan melarang, tetapi mengedukasi agar masyarakat bisa tetap menikmati kuliner khas sambil menjaga kesehatan.
“Seblak tetaplah bagian dari identitas kuliner Bandung,” katanya. “Tapi jangan lupa, tubuh kita juga butuh asupan bergizi seimbang. Sesekali boleh makan seblak, tapi jangan sampai seblak jadi makanan harian.”
Kini Dr. Arif dikenal bukan hanya sebagai dokter, tetapi juga sebagai pejuang gizi yang berangkat dari semangkuk seblak. Kisahnya mengingatkan kita bahwa kesehatan sering tersembunyi di balik hal-hal sederhana, bahkan dalam makanan yang paling kita cintai.
Komentar
Posting Komentar