Postingan Utama

Yang Pingin Sate Legendaris Malang Dan Kopi Jadulnya, Kami Rekomendasikan Kini Sudah Ada Di Jakarta Timur

  Di kawasan Jakarta Timur sekarang banyak warung sate yang bisa dibilang “legendaris”,  warung warung yang telah bertahan puluhan tahun dan tetap digemari banyak orang. Salah satu yang terkenal adalah Warung Sate Haji Giyo berdiri sejak 1985, dikenal dengan sate kambing besar, daging empuk, dan bumbu kecap manis pedas yang khas. Lalu ada Sate Kambing Haji Nawi (sejak 1982), dengan potongan sate kambing tebal dan juicy, serta tersedia juga sate ayam bercita rasa tradisional. Jangan lupa Sate Blora Cirebon  menawarkan sate kambing maupun ayam dengan bumbu gurih khas, dan pilihan menu tambahan seperti tongseng, gulai, sampai sop kambing. Sate sate dari warung warung ini menarik karena dagingnya empuk, potongannya tebal, dan cita rasa bumbunya kuat. Cocok bagi kamu yang rindu “sate jadul” ala warung tradisional. Kalau kamu sekarang di Jakarta Timur, tempat tempat ini layak banget buat jadi tujuan makan malam atau nongkrong bareng teman atau keluarga. Kopi Jadul dari Malang K...

Kisah Naratif Dan Imajinasi " Sepotong Kenangan Dari Masa Lalu Di Potret Kehidupan Tahun 1950 "

 


Tahun 1950 adalah tahun yang sunyi, namun penuh gejolak jiwa. Indonesia baru saja merdeka lima tahun yang lalu. Negeri ini masih dibasahi peluh perjuangan, dengan sisa-sisa peluru yang tertanam di dinding-dinding rumah kayu, dan suara gamelan yang tetap menggema dari sudut kampung sebagai tanda kehidupan terus berjalan.

Di sebuah desa kecil bernama Ngrambe, di lereng Gunung Lawu, hiduplah seorang pemuda bernama Sastro. Usianya baru dua puluh tiga tahun, namun wajahnya menua oleh pengalaman. Ia adalah anak dari petani yang dulu sempat ikut angkat bambu runcing melawan penjajah. Kini, setelah perang usai, Sastro bekerja sebagai guru di sekolah rakyat yang dibangun dari papan bekas markas tentara Belanda.

Setiap pagi, ia berjalan kaki sejauh 3 kilometer melewati sawah berkabut, membawa buku-buku usang dan kapur tulis yang dibungkus kain. Murid-muridnya duduk di atas bangku kayu tanpa sandaran, dengan papan tulis yang hanya separuh hitam karena bekas luka terbakar.

Namun ada kebahagiaan yang tak terucapkan di sana. Anak-anak kecil dengan seragam lusuh itu tertawa lepas saat membaca puisi Chairil Anwar, atau saat menuliskan huruf demi huruf dengan tangan yang gemetar. Mereka percaya bahwa membaca adalah bentuk baru dari perjuangan.

Di balik kehidupan sederhana itu, kehidupan kota mulai menggeliat. Di Jakarta, bioskop mulai menayangkan film hitam-putih buatan lokal. Pemuda-pemudi berdandan rapi dengan kemeja putih dan celana kain, menonton film sambil berdiskusi politik di warung kopi. Surat kabar seperti Harian Rakjat dan Indonesia Raya menjadi saksi perubahan zaman.

Namun, tidak semua kisah tahun 1950 tercatat di buku sejarah. Di balik catatan politik dan perjanjian negara, ada cerita-cerita kecil yang nyaris hilang—seperti Mak Tini, janda pejuang kemerdekaan, yang setiap malam duduk di beranda menenun kain sambil mendongeng tentang masa penjajahan kepada cucunya. Atau Pak Raji, penjual sepeda keliling yang mengantar surat cinta secara diam-diam dari pemuda kampung ke gadis yang menunggu di balik jendela bambu.

Hidup di tahun 1950 bukanlah hidup yang mudah. Tetapi ada ketulusan yang langka. Orang-orang saling menyapa dengan mata yang jujur, makan dari hasil bumi sendiri, dan percaya bahwa esok hari akan lebih baik meski belum ada listrik atau aspal yang mulus.

Sekarang, lebih dari tujuh puluh tahun kemudian, wajah tahun 1950 mungkin sudah memudar dari ingatan. Namun dalam hati orang-orang tua yang masih hidup, tahun itu adalah potret kehidupan yang penuh warna, meskipun dunia saat itu hanya bisa mereka lihat dalam hitam-putih.

Komentar