Postingan Utama

Yang Pingin Sate Legendaris Malang Dan Kopi Jadulnya, Kami Rekomendasikan Kini Sudah Ada Di Jakarta Timur

  Di kawasan Jakarta Timur sekarang banyak warung sate yang bisa dibilang “legendaris”,  warung warung yang telah bertahan puluhan tahun dan tetap digemari banyak orang. Salah satu yang terkenal adalah Warung Sate Haji Giyo berdiri sejak 1985, dikenal dengan sate kambing besar, daging empuk, dan bumbu kecap manis pedas yang khas. Lalu ada Sate Kambing Haji Nawi (sejak 1982), dengan potongan sate kambing tebal dan juicy, serta tersedia juga sate ayam bercita rasa tradisional. Jangan lupa Sate Blora Cirebon  menawarkan sate kambing maupun ayam dengan bumbu gurih khas, dan pilihan menu tambahan seperti tongseng, gulai, sampai sop kambing. Sate sate dari warung warung ini menarik karena dagingnya empuk, potongannya tebal, dan cita rasa bumbunya kuat. Cocok bagi kamu yang rindu “sate jadul” ala warung tradisional. Kalau kamu sekarang di Jakarta Timur, tempat tempat ini layak banget buat jadi tujuan makan malam atau nongkrong bareng teman atau keluarga. Kopi Jadul dari Malang K...

Dibalik Cerita Dan Kisah Sejarah Para Pejuang " Keunikan Sebuah Mobil Desoto Dan Cadillac Fleetwood Menyimpan Sejarah Para Perjuangan "

 


Sejarah bangsa Indonesia tidak hanya tercatat dalam naskah, dokumen, atau pidato para pemimpinnya, benda benda sederhana, termasuk kendaraan, kadang menjadi saksi bisu perjalanan panjang bangsa ini. Ada dua mobil bersejarah yang kini tersimpan rapi di Museum Proklamasi Jakarta adalah DeSoto milik Bung Hatta dan Cadillac Fleetwood 75 milik Bung Karno, keduanya menyimpan kisah berbeda tentang perjuangan dan peralihan kekuasaan di negeri ini.

DeSoto Bung Hatta (Saksi Perjuangan di Masa Revolusi)

Mobil DeSoto buatan Amerika Serikat ini pernah menjadi kendaraan yang setia menemani Dr. Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia. Pada masa revolusi, kendaraan bukan sekadar alat transportasi, melainkan juga simbol pergerakan. DeSoto Bung Hatta digunakan untuk berbagai perjalanan penting, mulai dari menghadiri rapat-rapat kenegaraan hingga menembus jalan-jalan yang belum sepenuhnya aman di masa revolusi fisik.

Di balik kemudi DeSoto itu, Bung Hatta pernah melintasi jalanan Jakarta, Yogyakarta, hingga daerah-daerah perjuangan. Bayangkan, di saat kondisi bangsa belum stabil, mobil ini menjadi saksi bagaimana seorang tokoh bangsa berusaha menjaga diplomasi, meredam konflik, dan memastikan roda pemerintahan tetap berjalan. Kini, DeSoto itu bukan sekadar besi tua, melainkan bukti nyata bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia diwarnai dengan keteguhan hati dan keberanian.

Cadillac Fleetwood 75 Bung Karno (Saksi Bisu Lengsernya Sang Proklamator)

Berbeda dengan DeSoto Bung Hatta yang kental dengan nuansa perjuangan revolusi, Cadillac Fleetwood 75 milik Bung Karno menyimpan kisah pada masa yang lebih getir : 

masa lengsernya sang Proklamator, Mobil mewah asal Amerika ini adalah salah satu kendaraan resmi presiden pertama RI, Ir. Soekarno,

Cadillac hitam itu sering mengantar Bung Karno menghadiri acara kenegaraan, 

Dengan bodinya yang panjang dan gagah, ia mencerminkan wibawa pemimpin besar yang disegani, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Namun, di balik kemegahannya, mobil itu juga menjadi saksi masa transisi yang penuh gejolak.

Ketika Bung Karno harus melepaskan tampuk kekuasaan pada tahun 1967, Cadillac Fleetwood 75 itu tetap terparkir setia. Ia menjadi saksi bisu bagaimana seorang tokoh besar yang pernah dielu-elukan akhirnya dipinggirkan oleh arus politik. Mobil itu menyimpan ironi sejarah: dari simbol kejayaan seorang presiden hingga menjadi saksi senyap peralihan kekuasaan bangsa.

Jejak Sejarah yang Abadi

Kini baik DeSoto Bung Hatta maupun Cadillac Fleetwood 75 Bung Karno tersimpan di museum, dipelihara sebagai artefak sejarah. Keduanya bukan sekadar kendaraan klasik, melainkan potongan cerita bangsa, deSoto bercerita tentang perjuangan mempertahankan kemerdekaan, sementara Cadillac Fleetwood bercerita tentang akhir sebuah era kepemimpinan.

Dari dua mobil itu kita belajar, bahwa sejarah bukan hanya tentang kejayaan, tetapi juga tentang pengorbanan, kerendahan hati, dan kenyataan pahit perjalanan bangsa.

Komentar