Postingan Utama

Yang Pingin Sate Legendaris Malang Dan Kopi Jadulnya, Kami Rekomendasikan Kini Sudah Ada Di Jakarta Timur

  Di kawasan Jakarta Timur sekarang banyak warung sate yang bisa dibilang “legendaris”,  warung warung yang telah bertahan puluhan tahun dan tetap digemari banyak orang. Salah satu yang terkenal adalah Warung Sate Haji Giyo berdiri sejak 1985, dikenal dengan sate kambing besar, daging empuk, dan bumbu kecap manis pedas yang khas. Lalu ada Sate Kambing Haji Nawi (sejak 1982), dengan potongan sate kambing tebal dan juicy, serta tersedia juga sate ayam bercita rasa tradisional. Jangan lupa Sate Blora Cirebon  menawarkan sate kambing maupun ayam dengan bumbu gurih khas, dan pilihan menu tambahan seperti tongseng, gulai, sampai sop kambing. Sate sate dari warung warung ini menarik karena dagingnya empuk, potongannya tebal, dan cita rasa bumbunya kuat. Cocok bagi kamu yang rindu “sate jadul” ala warung tradisional. Kalau kamu sekarang di Jakarta Timur, tempat tempat ini layak banget buat jadi tujuan makan malam atau nongkrong bareng teman atau keluarga. Kopi Jadul dari Malang K...

Cerita Kita Dari Warung Pecel Lele ke Mahkamah Konstitusi : Kisah Buruh Jalanan yang Dijadikan Contoh Korupsi

 


Siapa sangka, Warno, seorang penjual pecel lele yang mangkal di pinggiran Pasar Minggu sejak 2007, kini namanya tercatat dalam berkas Mahkamah Konstitusi sebagai contoh kasus pelanggaran hukum yang mengundang perdebatan nasional. Bukan karena lezatnya sambal cobek atau renyahnya lele goreng buatannya, tapi karena ia tersangkut perkara korupsi yang tak pernah benar-benar ia pahami.


Kisah Warno dimulai saat ia dipercaya sebagai bendahara koperasi pedagang kaki lima di wilayah tempatnya berdagang. Uang kas koperasi yang harusnya digunakan untuk bantuan modal para anggota, justru tidak tercatat dengan rapi. “Saya hanya pinjam dulu, buat beli minyak goreng. Rencananya mau saya ganti bulan depan,” ujar Warno dalam sidang pengadilan tingkat pertama. Tapi niat baik itu tak cukup menyelamatkannya dari jerat hukum.

Jaksa menjerat Warno dengan Pasal 3 Undang-Undang Tipikor: "Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara."


Nilai uang yang "disalahgunakan" Warno hanya sekitar Rp 8 juta. Namun karena ia memegang peran sebagai bendahara dan pengurus koperasi yang terkait bantuan dari APBD, kasusnya dikategorikan sebagai korupsi negara.

Yang mengejutkan, pada tahun 2025, saat Mahkamah Konstitusi membahas uji materi terhadap Pasal 3 UU Tipikor, nama Warno disebut-sebut dalam argumentasi sebagai contoh penyalahgunaan pasal yang tidak proporsional. Kuasa hukum pemohon uji materi menyebut bahwa pasal tersebut kerap digunakan untuk menjerat rakyat kecil yang tidak punya akses kuasa maupun pemahaman hukum memadai.

Apakah kita akan terus mengorbankan pedagang kaki lima seperti Warno, hanya karena mereka keliru mengelola kas kecil, sementara koruptor kelas kakap leluasa berkelit karena celah hukum?” ucap salah satu pengacara dalam persidangan.


Kasus Warno menjadi sorotan media dan aktivis hukum. Banyak yang menilai bahwa pendekatan hukum harus membedakan antara tindakan koruptif sistemik dan kesalahan administratif kecil yang dilakukan tanpa motif jahat.

Meski Mahkamah Konstitusi akhirnya tetap mempertahankan Pasal 3, namun perdebatan publik yang muncul mendorong pemerintah dan DPR untuk mempertimbangkan revisi UU Tipikor agar lebih adil dan proporsional.

Warno sendiri kini bebas bersyarat. Ia kembali berjualan di gerobaknya, tapi kali ini dengan catatan pembukuan yang jauh lebih rapi. “Saya nggak mau lagi kena masalah. Saya cuma mau jual lele, bukan urus hukum,” katanya sambil tersenyum pahit.


Catatan :

cerita ini adalah fiktif tentang seorang penjual pecel lele yang tersangkut kasus korupsi dan dijadikan contoh dalam sidang Mahkamah Konstitusi (MK). juga cerita ini ditulis dengan gaya semi-naratif, namun tetap menyampaikan isu hukum dan sosial dengan jelas. Dengan kata lain artikel ini di buat hanyalah fiktif yang tertulis untuk menggambarkan ketimpangan dalam penerapan hukum korupsi di Indonesia. Tokoh Warno adalah tokoh rekaan, namun mencerminkan kenyataan bahwa hukum terkadang lebih tajam ke bawah.


Komentar