Dunia maya tengah dihebohkan dengan fenomena baru yang mengejutkan komunitas olahraga, khususnya pengguna aplikasi kebugaran Strava. Muncul praktik tak biasa yang dijuluki sebagai "joki Strava", di mana seseorang dibayar untuk bersepeda atau lari menggantikan pemilik akun, lengkap dengan sesi pemotretan agar terlihat aktif dan atletis di media sosial. tren ini mulai mencuat dari sebuah unggahan viral di platform X (sebelumnya Twitter), yang menunjukkan seorang "joki" tengah mengayuh sepeda di kawasan pegunungan sambil berpose untuk dokumentasi. Unggahan itu disertai keterangan: “Bayar 200 ribu, lo tinggal duduk manis, nanti akun Strava lo isinya track sepedahan 50 km dan foto-foto kece di spot estetik." (Mojokerto, 21 Juli 2025)
Warga Geleng-Geleng Kepala
Fenomena ini pun menuai reaksi beragam dari masyarakat. Banyak yang menyayangkan tren ini, menganggapnya sebagai bentuk pemalsuan gaya hidup sehat demi pencitraan.
“Lucu aja sih, masa olahraga tapi dibayarin orang lain. Buat apa punya akun Strava kalau yang capek orang lain?” ujar Aditya (27), seorang pesepeda asal Surabaya.
“Kayaknya sekarang yang penting bukan sehat, tapi kelihatan keren di story,” tambahnya sambil tertawa.
Mengapa Mereka Melakukannya?
Motivasi di balik menyewa joki Strava ternyata cukup kompleks. Beberapa pelaku mengaku merasa tertekan oleh ekspektasi sosial di media digital, terutama di kalangan komunitas sepeda dan lari. Ada juga yang hanya ingin terlihat "aktif dan fit" saat reuni atau agar terlihat menarik di mata pasangan.
“Capek sih sebenarnya, tapi teman-teman semua posting olahraga tiap hari, masa aku enggak? Jadi aku bayar aja orang buat sepedahan, terus minta fotoin juga,” aku seorang pengguna anonim di forum Reddit Indonesia.
Pandangan dari Psikolog
Psikolog klinis, Dr. Rika Maulani, menyebut fenomena ini sebagai bentuk “digital self-esteem gap,” di mana individu merasa perlu membentuk citra yang ideal di dunia maya meskipun bertolak belakang dengan realitas.
“Ini mencerminkan betapa kuatnya tekanan sosial di era digital. Validasi dari likes dan komentar bisa menjadi candu, dan beberapa orang akhirnya rela mengeluarkan uang untuk mendapatkannya,” jelasnya.
Komunitas Strava Angkat Suara
Beberapa komunitas pengguna Strava mengecam keras fenomena ini, menyebutnya mencederai semangat kebugaran dan kejujuran.
“Kami ingin komunitas ini jadi tempat saling mendukung dalam gaya hidup sehat, bukan ajang pencitraan palsu. Kalau kamu malu mengakui belum sempat olahraga, ya enggak usah pura-pura,” kata Dani, admin komunitas Strava East Java.
Kesimpulan :
Fenomena joki Strava menjadi cermin bagaimana media sosial dapat memengaruhi perilaku manusia, bahkan dalam hal yang seharusnya bersifat pribadi dan jujur seperti olahraga. Di tengah maraknya tren “kelihatan keren”, publik pun kini mulai bertanya: sampai kapan orang rela membayar demi validasi digital?
Komentar
Posting Komentar