Postingan Utama

Yang Pingin Sate Legendaris Malang Dan Kopi Jadulnya, Kami Rekomendasikan Kini Sudah Ada Di Jakarta Timur

  Di kawasan Jakarta Timur sekarang banyak warung sate yang bisa dibilang “legendaris”,  warung warung yang telah bertahan puluhan tahun dan tetap digemari banyak orang. Salah satu yang terkenal adalah Warung Sate Haji Giyo berdiri sejak 1985, dikenal dengan sate kambing besar, daging empuk, dan bumbu kecap manis pedas yang khas. Lalu ada Sate Kambing Haji Nawi (sejak 1982), dengan potongan sate kambing tebal dan juicy, serta tersedia juga sate ayam bercita rasa tradisional. Jangan lupa Sate Blora Cirebon  menawarkan sate kambing maupun ayam dengan bumbu gurih khas, dan pilihan menu tambahan seperti tongseng, gulai, sampai sop kambing. Sate sate dari warung warung ini menarik karena dagingnya empuk, potongannya tebal, dan cita rasa bumbunya kuat. Cocok bagi kamu yang rindu “sate jadul” ala warung tradisional. Kalau kamu sekarang di Jakarta Timur, tempat tempat ini layak banget buat jadi tujuan makan malam atau nongkrong bareng teman atau keluarga. Kopi Jadul dari Malang K...

Nenek Fatimah, Harapan yang Terlupa di Griya Lansia Malang

 


Di sebuah sudut tenang Kota Malang, berdiri sebuah tempat bernama Griya Lansia Sejahtera. Di sanalah seorang wanita tua bernama Fatimah menjalani hari-harinya dalam diam dan doa. Usianya telah melampaui tujuh dekade. Wajahnya penuh keriput, namun sorot matanya tetap menyimpan cinta dan kerinduan mendalam pada sesuatu yang sangat ia rindukan keluarganya.

Nenek Fatimah dulunya adalah ibu yang kuat. Ia membesarkan keempat anaknya seorang diri setelah sang suami meninggal dunia saat mereka masih kecil. Ia menjahit siang malam, memasak, mencuci, bahkan bekerja sebagai buruh cuci keliling demi menyekolahkan anak-anaknya. Semua itu ia lakukan tanpa keluhan, hanya karena satu alasan cinta.


Namun, waktu bergulir dan kehidupan anak-anaknya berubah. Mereka kini hidup mapan, memiliki pekerjaan tetap dan keluarga masing-masing. Tapi kesibukan dan kenyamanan hidup ternyata membuat mereka perlahan melupakan sang ibu.

Beberapa tahun lalu, dengan dalih tidak mampu merawatnya, keempat anak itu sepakat menitipkan Nenek Fatimah ke Griya Lansia. “Biar Ibu dirawat dengan baik, ada perawat dan dokter di sana,” begitu kata mereka. Saat itu, Nenek Fatimah hanya tersenyum, meski hatinya remuk. Ia tidak ingin menjadi beban. Ia percaya anak-anaknya tahu yang terbaik.


Hari-hari berlalu di griya. Nenek Fatimah duduk di kursi rodanya, memandangi pintu gerbang setiap pagi, berharap salah satu anaknya datang menjenguk. Tapi waktu terus berjalan, dan yang datang hanyalah surat-surat singkat serta uang kiriman bulanan. Bukan pelukan, bukan suara anak-anaknya.

Tahun demi tahun, tubuh Nenek Fatimah semakin renta. Kakinya melemah. Ia tidak lagi bisa berjalan sendiri. Ketika salah satu anaknya, akhirnya datang untuk menjemput setelah mendengar kabar kondisi sang ibu memburuk, yang mereka temui adalah seorang perempuan tua yang tak lagi mampu berdiri, apalagi memeluk anak-anaknya seperti dulu.

Saat digendong masuk ke mobil oleh perawat, air mata Nenek Fatimah menetes pelan. Bukan karena lemah, tapi karena bahagia. Meski lambat, meski sakit, setidaknya ia akhirnya dijemput. Hatinya tetap seorang ibu yang selalu memaafkan, selalu menanti, dan selalu mencintai.


Pesan Moral :

Kisah Nenek Fatimah adalah cerminan tentang pentingnya menjaga orangtua di masa tua mereka. Mereka yang dulu mengorbankan segalanya untuk kita, tak pantas dilupakan saat mereka membutuhkan kita. Waktu tak bisa diputar, namun kasih sayang bisa selalu dihadirkan kembali, sebelum semuanya terlambat.


Komentar