Jalan jalan di Kota Bandung menyimpan cerita yang berbeda dari hari ini. Aspalnya belum seramai sekarang, suara klakson belum saling bertubrukan tanpa henti, dan udara pagi masih terasa sejuk, seolah menyapa setiap orang yang melangkah keluar rumah.
Di pagi hari dari Jalan Asia Afrika menjadi saksi langkah para pekerja dan pelajar. Bus kota berwarna kusam berjalan pelan, pintunya terbuka sambil kondektur berteriak menyebut tujuan. Becak masih mudah ditemui di sudut sudut jalan, mengayuh pelan membawa penumpang dengan cerita hidup masing masing. Tidak ada layar ponsel yang menunduk, hanya tatapan mata yang saling bertemu atau senyum singkat antar orang asing. Jalan Braga kala itu belum seramai sekarang. Bangunan tua berdiri anggun dengan cat yang mulai pudar, menyimpan kisah masa lalu kolonial. Toko toko kecil menjual kaset pita, kamera analog, dan buku-buku bekas. Anak-anak muda berjalan berkelompok, mengenakan jaket jeans dan sepatu kanvas, bercanda tanpa terburu waktu. Di sore hari, cahaya matahari jatuh miring di trotoar, menciptakan bayangan panjang yang terasa hangat dan tenang.
Di kawasan Dago ada jalanan masih terasa lapang. Pepohonan rindang menaungi kendaraan yang melintas. Angkot berwarna hijau dan biru berhenti di mana saja, seolah jalan adalah ruang bersama yang fleksibel. Dari jendela rumah-rumah, aroma masakan sore tercium samar, bercampur dengan udara dingin khas Bandung. Malam hari menghadirkan suasana berbeda. Lampu jalan memantulkan cahaya kuning lembut di atas aspal yang sedikit basah oleh embun. Pedagang kaki lima mulai membuka lapak, menjual nasi goreng, mi rebus, dan bandrek hangat. Orang orang duduk di bangku sederhana, berbincang tanpa tergesa, seakan waktu berjalan lebih lambat dari biasanya. Bandung tiga puluh tahun lalu bukan kota tanpa masalah, namun ia memiliki ritme yang lebih manusiawi. Jalanan bukan sekadar jalur kendaraan, melainkan ruang bertemu, berbagi cerita, dan menjalani hidup. Kini, ketika gedung tinggi dan kemacetan mendominasi, kisah kisah itu tetap hidup dalam ingatan sebagai pengingat bahwa setiap jalan pernah memiliki jiwa.

Komentar
Posting Komentar