Informasi Dari Pemikiran Juga Tantangan Menghadapi Tidak Stabilnya Suatu Negara, Kami Punya Solusi " Dua Belas Solusi Menghadapi Situasi Politik dan Negara yang Tidak Stabil agar Tetap Waras"

Di sebuah desa kecil bernama Ngrambe, di lereng Gunung Lawu, hiduplah seorang pemuda bernama Sastro. Usianya baru dua puluh tiga tahun, namun wajahnya menua oleh pengalaman. Ia adalah anak dari petani yang dulu sempat ikut angkat bambu runcing melawan penjajah. Kini, setelah perang usai, Sastro bekerja sebagai guru di sekolah rakyat yang dibangun dari papan bekas markas tentara Belanda.
Setiap pagi, ia berjalan kaki sejauh 3 kilometer melewati sawah berkabut, membawa buku-buku usang dan kapur tulis yang dibungkus kain. Murid-muridnya duduk di atas bangku kayu tanpa sandaran, dengan papan tulis yang hanya separuh hitam karena bekas luka terbakar.
Namun ada kebahagiaan yang tak terucapkan di sana. Anak-anak kecil dengan seragam lusuh itu tertawa lepas saat membaca puisi Chairil Anwar, atau saat menuliskan huruf demi huruf dengan tangan yang gemetar. Mereka percaya bahwa membaca adalah bentuk baru dari perjuangan.
Di balik kehidupan sederhana itu, kehidupan kota mulai menggeliat. Di Jakarta, bioskop mulai menayangkan film hitam-putih buatan lokal. Pemuda-pemudi berdandan rapi dengan kemeja putih dan celana kain, menonton film sambil berdiskusi politik di warung kopi. Surat kabar seperti Harian Rakjat dan Indonesia Raya menjadi saksi perubahan zaman.
Namun, tidak semua kisah tahun 1950 tercatat di buku sejarah. Di balik catatan politik dan perjanjian negara, ada cerita-cerita kecil yang nyaris hilang—seperti Mak Tini, janda pejuang kemerdekaan, yang setiap malam duduk di beranda menenun kain sambil mendongeng tentang masa penjajahan kepada cucunya. Atau Pak Raji, penjual sepeda keliling yang mengantar surat cinta secara diam-diam dari pemuda kampung ke gadis yang menunggu di balik jendela bambu.
Hidup di tahun 1950 bukanlah hidup yang mudah. Tetapi ada ketulusan yang langka. Orang-orang saling menyapa dengan mata yang jujur, makan dari hasil bumi sendiri, dan percaya bahwa esok hari akan lebih baik meski belum ada listrik atau aspal yang mulus.
Sekarang, lebih dari tujuh puluh tahun kemudian, wajah tahun 1950 mungkin sudah memudar dari ingatan. Namun dalam hati orang-orang tua yang masih hidup, tahun itu adalah potret kehidupan yang penuh warna, meskipun dunia saat itu hanya bisa mereka lihat dalam hitam-putih.
Komentar
Posting Komentar